Pertanian & Lingkungan
Kehilangan Pangan: Tantangan terhadap Lanskap Berkelanjutan
Rabu 5 September 2018

Tidak semua bahan pangan sampai ke meja makan. Sebagian rusak atau membusuk sebelum sampai ke tangan konsumen. Kerusakan pangan yang terjadi setelah panen disebut sebagai kehilangan pangan. Kehilangan pangan dapat terjadi pada penanganan setelah panen, distribusi, pengolahan, hingga konsumsi.

 

Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan bahwa belum ada perkiraan yang akurat mengenai besar kehilangan pangan. Belum ada cara yang baku untuk mengukur tingkat kehilangan pangan. Namun pada pertemuan negara-negara ASEAN pada Februari lalu di Bogor, yang membahas tentang penurunan susut panen hasil pertanian, disebutkan bahwa pada tingkat global, 54% kehilangan pangan terjadi pada tahap paska panen dan penyimpanan. Pada acara yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengatakan tingkat kehilangan pangan paska panen secara nasional masih di atas 20% rata-rata per tahun.

 

Dampak kehilangan pangan

Meskipun belum ada perkiraan akurat mengenai kehilangan pangan, namun adanya fakta bahwa ada sebagian pangan yang hilang, mengindikasikan sejumlah energi, lahan, dan sumber daya lain telah terbuang untuk menghasilkan “limbah“. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa sebesar 24% energi terbuang sia-sia karena memproduksi bahan pangan yang tidak sempat dikonsumsi.

 

Tanpa penanganan yang baik, penumpukan sampah pangan dan pertanian akan berkontribusi pada memburuknya kondisi iklim global. Pembusukan atau dekomposisi yang terjadi pada timbunan bahan-bahan organik dapat menghasilkan gas metana. Gas ini merupakan jenis gas yang lebih mudah memerangkap panas daripada gas karbondioksida, sehingga diwaspadai sebagai gas yang berpengaruh besar terhadap pemanasan global.

 

Tingginya kehilangan pangan tentunya juga menambah beban pertanian untuk menyediakan pangan. Misalkan saja setiap hektar lahan mampu menghasilkan 2 ton kedelai. Namun dengan tingkat kerusakan sekitar 20% pada tahap penanganan paska panen dan penyimpanan, maka hanya sekitar 1,6 ton saja yang dapat berkontribusi terhadap pemenuhan pangan masyarakat.

 

Kehilangan pangan juga berdampak pada pendapatan petani. Kehilangan pangan berarti petani hanya mendapatkan sebagian penggantian atas semua benih, pupuk, dan modal yang telah dikeluarkan.

 

Penanganan paska panen yang baik mengurangi kehilangan pangan

Masing-masing komoditas memiliki sifat bahan yang berbeda, sehingga memiliki sebab dan tingkat resiko kehilangan pangan yang berbeda. Menurut data yang dirilis oleh FAO tahun 2012, umbi-umbian merupakan salah satu jenis komoditas yang mengalami kehilangan pangan paling besar, yaitu sebesar 45%. Pada umbi-umbian, kehilangan pangan paling banyak terjadi pada tahap paska panen. Selain umbi-umbian, kacang-kacangan juga mengalami kehilangan pangan sangat tinggi pada tahap paska panen.

 

Penanganan paska panen paling sederhana namun tepat, pada dasarnya menekan kerusakan hasil pertanian dan kehilangan pangan. Namun dengan meningkatnya permintaan pangan, dan di sisi lain, keterbatasan sumber daya, maka penanganan paska panen perlu lebih efisien. Petani dapat mengurangi kehilangan pangan dengan menggunakan cara-cara penanganan yang lebih efisien.

 

Pada komoditas padi misalnya, perontokan dengan cara tradisional (diinjak, dipukul, atau dibanting) berpotensi menyebabkan kehilangan pangan hingga antara 4 hingga 12 persen. Sedangkan penggunaan alat dan mesin perontok mampu menekan kehilangan pangan hingga mencapai 1 %.

 

Namun, upaya untuk mengurangi kehilangan pangan tentu tidak cukup dilakukan oleh petani saja. Pihak lainnya perlu memberikan dukungan melalui peningkatan kapasitas dan keterampilan petani dalam praktek-praktek penanganan paska panen, penyediaan teknologi, alat dan mesin yang lebih efisien, pengembangan pasar, dan pendekatan-pendekatan lainnya.