Gender
Dua Sisi Perempuan dalam Pertanian
Rabu 5 Desember 2018

Terbit pertama : 8 Desember 2016

 

Jumlah penduduk Jawa Tengah yang bekerja pada sektor pertanian mencapai 5 juta jiwa, 38% diantaranya merupakan perempuan. Data ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam pengembangan lanskap pertanian berkelanjutan. Namun pengakuan terhadap kontribusi perempuan di sektor ini masih lemah, petani pria masih mendominasi hak atas tanah dan keputusan dalam pengelolaan lahan. Terlebih dipulau Jawa, dimana sistem patriarki masih dijunjung tinggi di sebagian besar wilayah, terutama di pedesaan.

Dalam sistem patriarki di Jawa, laki-laki bertugas memberikan nafkah bagi keluarganya, sedangkan perempuan hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Seiring dengan tekanan ekonomi yang semakin meningkat, laki-laki yang sebelumnya bekerja penuh di lahan, mulai mencari pekerjaan sampingan, seperti supir dan buruh bangunan, untuk menambah penghasilan keluarga. Pekerjaan sampingan ini menyita waktu kerja di ladang, sehingga petani laki-laki melimpahkan sebagian besar pekerjaan di ladang kepada istrinya. Namun hal ini tidak semata-mata memberikan perempuan hak atas penghasilan dan keputusan pengelolaan lahan.

 
   

Perempuan diposisikan harus selalu lebih rendah dari laki-laki, termasuk mengenai pendapatan dan pendidikan. Sebagian besar dari petani perempuan ini merupakan pekerja keluarga, dimana mereka membantu anggota keluarganya tanpa menerima bayaran, baik berupa uang maupun barang. Demikianhalnya dari segi pendidikan, petani perempuan memiliki kesempatan lebih kecil untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebesar 80% petani perempuan hanya menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar atau di bawahnya, dibandingkan petani pria yang sekitar 20% -nya mampu menempuh pendidikan setidaknya setingkat SLTP, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Terdapat beberapa tantangan dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan perempuan. Sistem patriarki yang berkembang di masyarakat Jawa telah menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Masyarakat cenderung lebih bangga jika memiliki anak laki-laki daripada anak perempuan. Kecenderungan untuk menganakemaskan anak laki-laki daripada anak perempuan kemudian timbul di berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan pekerjaan. Karena menganggap bukan tugas perempuan untuk bekerja, maka banyak keluarga menikahkan anak perempuannya dalam usia yang sangat muda. Dengan budaya tersebut, perempuan menganggap ketidakadilan yang dikenakan kepadanya merupakan hal yang lumrah dan merupakan peran perempuan ‘yang sebenarnya’, sehingga membiarkan ketidakadilan tadi terus terjadi.